Sejarah Desa

SEJARAH DESA TLAGA

Lahirnya Desa Tlaga tidak lepas dari eksistensi Lengger di Banyumas. Seni lengger atau ronggeng merupakan bagian integral dari sejarah seni budaya Banyumas, termasuk di Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar. Kesenian lengger menjadi tontonan wajib dalam setiap kegiatan di Desa Tlaga, sementara kesenian lain hanya bersifat sunah. Menurut warga desa, seni lengger pertama kali diperkenalkan di Tlaga oleh Eyang Ajeng, adik dari Eyang Ranukertawijaya, yang merupakan penari lengger pertama di desa tersebut. Eyang Ajeng datang setelah Eyang Rebo meninggalkan Selogiri, sementara dua teman Eyang Rebo pindah ke Karangdelima (sekarang Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen, Banyumas). Eyang Ajeng dikenal luas dan sering diundang tampil, bahkan sampai ke Pegadungan, Sunda. Konon, setelah tampil, Eyang Ajeng diberi hadiah berupa pakaian harimau oleh seseorang. Ketika mengenakan pakaian tersebut, Eyang Ajeng dipercaya bisa berubah menjadi harimau.

Orang setempat percaya bahwa pemberi pakaian tersebut adalah bangsa "mejajaran", makhluk yang mirip manusia tapi bukan manusia. Menurut kepercayaan, mejajaran adalah makhluk tanpa tungkai kaki dan lekukan di bawah hidung seperti manusia. Hingga kini, bekas tapak kaki mereka masih terlihat di hutan-hutan dan perbukitan di Banyumas bagian barat. Terlepas dari mitologi tersebut, seni budaya lokal di Tlaga masih bertahan hingga sekarang. Seni lengger diwariskan turun-temurun dalam keluarga dan eksistensinya berkaitan dengan kisah Eyang Ajeng sebagai lengger pertama di Tlaga.

Seni lengger di Tlaga masih sering diundang oleh masyarakat Cilacap dan Brebes. Dalam slametan suran, pentas lengger adalah hal yang wajib sebagai penghormatan kepada Eyang Ranukertawijaya dan Eyang Ajeng. Kepercayaan terhadap laknat dan prahara karena melupakan hal gaib menjaga kelestarian budaya dan tradisi setempat. Mitologi Eyang Ajeng sebagai leluhur lengger di Desa Tlaga memperkuat posisi lengger di masyarakat. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Tlaga juga memiliki kesenian bentha-benthi atau rinding, upacara meminta hujan yang dipentaskan saat kemarau panjang. Penyembelihan kerbau di awal Sura juga tradisi turun-temurun dengan makna simbolis.

Penanaman kepala kerbau sebagai simbol penguburan sifat serakah manusia agar akal dan nurani tetap terjaga, serta penguburan tulang belulang sebagai nasihat agar tidak suka berebut sesuatu yang tidak berharga. Prosesi Suran di Tlaga dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon di dekat masjid, mendekatkan masyarakat dengan tempat dan waktu ibadat. Suran menjadi upaya mendekatkan masyarakat dengan Islam melalui pendekatan budaya, mengakomodasi berbagai kesenian yang ada. Dengan demikian, agama dapat disisipkan dalam kehidupan masyarakat melalui simbolisasi dalam pentas, syair, bahasa, tembang, dan ritual Suran. Ritus Suran menjadi upaya untuk menyelaraskan hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan semesta, berpusat pada Tuhan Sang Hyang Tunggal.